Membaca buku mommylicious membuatku merasa memutar ulang rekaman kenangan, dari mulai pertama kali dinyatakan hamil, kemudian menjadi ibu, dilema menyusui, dan berbagai pengalaman lainnya seperti yang dituliskan oleh mbak Arin dan mbak Rina ke dalam lima bab cerita di buku mommylicious.
Aku benar-benar menikmati setiap cerita di buku ini yang ditulis jujur, apa adanya namun banyak sekali ilmu yang dapat dipetik, dan tanpa sadar aku membandingkan pengalamanku dengan pengalaman mbak Arin dan mbak Rina Susanti dibuku ini.
Well, aku juga ibu dari dua orang anak, pernah bekerja dan juga seorang blogger tapi ada beberapa hal yang membedakan aku dan dua blogger hebat ini. Salah satunya adalah bagaimana mereka begitu menikmati perannya sebagai ibu dengan segala keribetan yang harus dialami dan pengorbanan yang dilakukan untuk menjadi seorang ibu.
Membuatku tertampar dan merasa malu, karena jujur saja dulu waktu pertama kali punya anak aku sangat ingin sekali kembali untuk bekerja dibandingkan menjadi full mom mengurus anakku (walaupun mempunyai anak membuatku bahagia).
Kami berdua sudah mempersiapkan diri dari awal kami menikah untuk menjadi orang tua baru. Faktanya ketika hal itu benar-benar terjadi, dan dinyatakan positif hamil, Aku belum siap untuk tanggung jawab besar itu, aku belum siap ketika harus berhenti berkerja dan benar-benar tergantung pada penghasilan suami. Aku belum siap jika ada orang bertanya padaku apa pekerjaan dan kegiatanku sekarang dan aku harus menjawab aku ibu rumah tangga sejati dan mereka menanggapinya dengan jawaban "Oh" dan buru-buru mengalihkan pertanyaan dan tatapan matanya ke arah lain.Seolah-olah menjadi full mom tak ada artinya.
Ketika Vinka lahir stressku juga belum reda malah bertambah, yang menyebabkan ASIku tidak keluar seperti yang dialami mbak Rina Susanti, bahkan di hari kedua usia Vinka, suami membelikan susu formula sebagai antisipasi jika ASIku tak keluar juga. Tapi syukurlah ASIku akhirnya keluar dan Vinka sama sekali tak perlu tambahan sufor sampai akhirnya dia harus disapih).
Rasa takut menguasaiku membuatku menjadi mrs.drama queen, cepat nangis dan tersinggung terlebih lagi aku dan keluarga kecil kami masih tinggal di rumah mertua. Membuatku merasa tertekan, takut melakukan kesalahan, takut mertua nggak suka, dsb, rasa takut dan obsesi ingin tampil sempurna di mata mertua itu yang justru membuatku sering melakukan kesalahan dan tidak menikmati tingkah pola anak-anakku yang manis. Seperti Vinka yang sering memberikanku bunga, Shidiq yang sering membanjiriku dengan pelukan dan ciumannya meski aku belum mandi.
Well, aku juga ibu dari dua orang anak, pernah bekerja dan juga seorang blogger tapi ada beberapa hal yang membedakan aku dan dua blogger hebat ini. Salah satunya adalah bagaimana mereka begitu menikmati perannya sebagai ibu dengan segala keribetan yang harus dialami dan pengorbanan yang dilakukan untuk menjadi seorang ibu.
Membuatku tertampar dan merasa malu, karena jujur saja dulu waktu pertama kali punya anak aku sangat ingin sekali kembali untuk bekerja dibandingkan menjadi full mom mengurus anakku (walaupun mempunyai anak membuatku bahagia).
Kami berdua sudah mempersiapkan diri dari awal kami menikah untuk menjadi orang tua baru. Faktanya ketika hal itu benar-benar terjadi, dan dinyatakan positif hamil, Aku belum siap untuk tanggung jawab besar itu, aku belum siap ketika harus berhenti berkerja dan benar-benar tergantung pada penghasilan suami. Aku belum siap jika ada orang bertanya padaku apa pekerjaan dan kegiatanku sekarang dan aku harus menjawab aku ibu rumah tangga sejati dan mereka menanggapinya dengan jawaban "Oh" dan buru-buru mengalihkan pertanyaan dan tatapan matanya ke arah lain.Seolah-olah menjadi full mom tak ada artinya.
Ketika Vinka lahir stressku juga belum reda malah bertambah, yang menyebabkan ASIku tidak keluar seperti yang dialami mbak Rina Susanti, bahkan di hari kedua usia Vinka, suami membelikan susu formula sebagai antisipasi jika ASIku tak keluar juga. Tapi syukurlah ASIku akhirnya keluar dan Vinka sama sekali tak perlu tambahan sufor sampai akhirnya dia harus disapih).
Rasa takut menguasaiku membuatku menjadi mrs.drama queen, cepat nangis dan tersinggung terlebih lagi aku dan keluarga kecil kami masih tinggal di rumah mertua. Membuatku merasa tertekan, takut melakukan kesalahan, takut mertua nggak suka, dsb, rasa takut dan obsesi ingin tampil sempurna di mata mertua itu yang justru membuatku sering melakukan kesalahan dan tidak menikmati tingkah pola anak-anakku yang manis. Seperti Vinka yang sering memberikanku bunga, Shidiq yang sering membanjiriku dengan pelukan dan ciumannya meski aku belum mandi.
- Aku selalu stress ketika anak-anak berantem, yaa rebut mainan, makanan, perhatian, atau nanggis teriak-teriak.(pertama kupikir anakku saja yang suka berantem, dan aku ibu yang gagal tidak mendidik mereka dengan baik), tapi ternyata itu hal yang wajar mbak Arin dan mbak Rina Susanti juga mengalaminya).
- Aku stress ketika anak membuat berantakan rumah. (Sebelum kami memiliki anak, rumah mertua selalu bersih bahkan beberapa kali dijadikan sebagai contoh rumah sehat mewakili desa kami).
cerita mengenai pertanyaan nakalnya, mbak Arin tentang siapa yang lebih dia cintai antara Asa dan Cinta, membuat ingatanku meloncat kembali ke pengalamanku sendiri pada tanggal 12 April 2012, gempa 8,5 skala ritcher kembali menguncang Aceh dan berpotensi tsunami.
Segera setelah gempa berhenti aku memasukan semua barang yang kuanggap berharga dan perlengkapan Vinka dan Shidiq secukupnya untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman. Sinyal hp hilang, aku tak bisa menghubungi suami mengabarkan keadaan kami, Shidiq masih berusia 2 bulan dan Vinka 2,4 tahun saat itu. Di tengah kebingunganku harus mengungsi pakai kendaraan apa (sedangkan aku tak pandai bawa kendaraan selain sepeda) adikku dan dua anaknya yang SD sudah standby di atas motor hendak mengungsi dan mengajakku untuk naik ke motornya. Kutitipkan Shidiq sebentar ke neneknya yang sedang menunggu kakek mengeluarkan mobil. Neneknya meyarankan agar kami mengunsgi naik mobil kakek Segera kunaikan Vinka ke atas motor, Sempit sekali motor itu dinaiki kami berlima. Neneknya meyarankan agar kami menggunakan mobil saja, tapi pengalaman tsunami yang lalu, mobil tidak cukup cepat untuk menghindari kemacetan orang yang mengungsi lainnya dan juga gelombang tsunami.
Keputusan sulit harus kulakukan dan aku memutuskan, Shidiq ikut bersamaku, sehingga jika pun kami memang ditakdirkan untuk mati karena tsunami, kami akan mati bersama-sama. Sepanjang jalan aku menangis, membayangkan apa kakek neneknya akan selamat? Apa kami akan selamat?
Baru 300 meter kami naik motor kemacetan sudah menghadang, sungguh tidak mudah naik sepeda motor berenam dan juga membawa barang bawaan. Pegal karena harus membawa ransel penuh barang, sementara tangan kiriku mengendong Shidiq dan tangan kananku menahan badan Vinka yang mulai mengantuk.
Diantara kemancetan ada seorang ibu dengan seorang anak TK yang juga terjebak kemancetan, dia menegurku dan membuatku sedih dan marah.
"Bu, Sayang anaknya" sambil matanya memperhatikan Shidiq. Kalau aku bisa tentu aku akan memilih kendaraan yang lebih nyaman namun cepat untuk Shidiq dan Vinka, tapi kenyaataannya inilah kendaraan yang tercepat pada saar itu yang bisa membawa kami pergi ke tempat lebih aman, justru karena aku sayang anakku makanya aku mau repot dan bersusah payah seperti ini. Karena aku sayang, aku tak mau berpisah darinya.(Ibu itu pasti belum pernah dikejar air tsunami, sehingga tidak tahu bagaimana cepatnya air itu datang dan menghancurkan). Bagaimana jika posisi ibu itu berada di posisiku apa dia akan senang jika ada orang menegur seperti itu?
Gempa kuat masih saja terjadi hingga sore hari, tapi alhamdulillah tidak diiringi tsunami dan dari kejadian itu aku bisa mengukur, betapa aku tak bisa pisah dan sayang kedua anakku.
Dari cerita curhat Si Mbak, juga membuatku merenung, sudah baikah aku sebagai ibu? dan masih banyak cerita lainnya yang juga mengaduk emosiku.
Betapa banyak sekali
keputusan-kepotusan sulit yang harus dilakukan seorang ibu, meskipun dia
tidak suka melakukannya tapi dia harus menjalaninya. Jadi stop menghakimi dan menilai keputusan yang diambil seseorang terutama seorang ibu sebelum kamu menempatkan diri diposisinya.
Thanks god i read this book, membuatku tersadar dari obsesi gila, untuk menjadi supermom, ibu yang sempurna yang mampu mengatasi segalanya yang justru malah merubahku menjadi ibu yang galak dan menyebalkan.
Membaca buku ini seolah aku sedang melakukan terapi dengan seorang psikolog,yang menghipnotisku di setiap cerita dan membiarkanku tenggelam dalam setiap cerita yang ditulis dan sekaligus kenangan yang kupunya dan berkata
"It's ok not to be a perfect mother as long as you always try to be a good one."
Mommylicious membuatku merasa tidak sendiri, ternyata ada ibu-ibu yang lain juga mengalami perasaan, pengalaman dan masalah yang sama bahkan lebih berat dari yang kualami.
Dan seolah menemukan obat untuk resahku, sebagai seorang ibu dengan begitu banyak kekurangan hatiku menjadi tenang seiring habisnya cerita yang kubaca di dalam buku ini Berkat buku ini membuatku lebih menikmati saat bersama anak-anak dan keluarga dibandingkan sebelumnya.
Thanks god i read this book, membuatku tersadar dari obsesi gila, untuk menjadi supermom, ibu yang sempurna yang mampu mengatasi segalanya yang justru malah merubahku menjadi ibu yang galak dan menyebalkan.
Membaca buku ini seolah aku sedang melakukan terapi dengan seorang psikolog,yang menghipnotisku di setiap cerita dan membiarkanku tenggelam dalam setiap cerita yang ditulis dan sekaligus kenangan yang kupunya dan berkata
"It's ok not to be a perfect mother as long as you always try to be a good one."
Mommylicious membuatku merasa tidak sendiri, ternyata ada ibu-ibu yang lain juga mengalami perasaan, pengalaman dan masalah yang sama bahkan lebih berat dari yang kualami.
Dan seolah menemukan obat untuk resahku, sebagai seorang ibu dengan begitu banyak kekurangan hatiku menjadi tenang seiring habisnya cerita yang kubaca di dalam buku ini Berkat buku ini membuatku lebih menikmati saat bersama anak-anak dan keluarga dibandingkan sebelumnya.
Oya, aku juga
punya cerita waktu pertama kali buku ini nyampe di rumah. Vinka (5thn,
dah bisa baca) langsung tertarik untuk membacanya karena cover bukunya
yang unyu-unyu( ilustrasi gambar kartun
Serius sekali Kakak Vinka baca buku Mommylicius |
Gaya Vinka waktu baca cerita Mommylicius keras-keras Tulisan ini diikut sertakan dalam |
Iya ya saya juga merasakan banyak.pengalaman yg sama saat baca buku ini...
BalasHapusiya mbak kania bukunya bikin kita nostagia dengan pengalaman sendiri
HapusJadi penasaran nih dengan buku Mommylicius :) sukses untuk kontesnya ya mak :)
BalasHapusmakasih.ayoo mbak dibeli bukunya, insya Allah, bukunya bagus isinya
Hapusbukunya memang menarik, persis seperti kejadian2 yang dialami sehari :)
BalasHapusiya mak betul banget :)
HapusBuku yang ditulis oleh blogger itu emang asik dibaca. Soalnya jadi lebih dekat ke hati pembaca ^^
BalasHapusiya mbak :)
Hapuswah seneng ni kalau jadi ibu, oh iya cari tau yuk cara memperbanyak asi sampai bayi umur 2 tahun :)
BalasHapus